CERBUNG ~ENTAHLAH~ epidode 1



Entahlah, sore ini seperti ada kekuatan besar yang mendorongku untuk menulis. Sudah sekian lama semenjak kepergiannya, sangat lama, hatiku lumpuh untuk menulis. “Kamu pasti jadi penulis hebat Nda”.. “Nda, aku jatuh cinta dengan tulisanmu. Teruslah menulis.. Untuk aku”. Ahhhhh.. Kalimat itu selalu terngiang.. Aku benci ketika mengingatnya. Kalimat yang dulu pernah menjadi penyemangatku, sekarang berubah menjadi hal yang menyakitkan untuk diingat. Kalimat yang berhasil membuatku berhenti mengoreskan penaku. Tapi berbeda dengan sore ini, aku mendapati diriku begitu bersemangat untuk menulis. Virus kalimat itu seakan tak berefek lagi padaku bahkan hilang dengan mudahnya. Aku yakin semua ini beralasan. Dan aku tahu alasannya, “Dia”..
***
Panda......” Teriak dina dengan suara nyaring khasnya..
Aku benci Dina saat memanggilku dengan panggilan itu. Hanya rasa benci sesaat. Aku tau dia hanya menggodaku, dia hanya berusaha membuatku terbiasa dengan luka lamaku. Walaupun begitu, sahabatku ini memang menyebalkan. Sahabat menyebalkan yang berhasil membawa pelangi dalam hidupku. Dan aku sangat menyayanginya.
Ihh, apaan sih na. Cewek kok teriak-teriak. Malu tuh diliatin orang” Ujarku kesal.
Duh si eneng, pagi pagi udah cembetut aja. Padahal aku bawa kabar gembira loh buat kamu” Goda Dina..
Kabar gembira?? Apa?” tanyaku penasaran.
Ini..” ujar Dina dengan senyum merekah sambil menunjukan pamflet berisi informasi lomba cerpen yang diadakan oleh salah satu penerbit ternama di kotaku.
Oo..” jawabku datar.
Ya ampun Naila. Ini kesempatan bagus buat kamu sayang. Sampai kapan kamu terus melewati kesempatan emas ini??” imbas Dina heran.
Duh dina, aku udah bilang ke kamu berkali-kali, aku ngk mau nulis lagi. Lebih tepatnya aku nggak bisa nulis lagi.” Ketusku.
Kenapa?? Karena Dia? Nai, mau sampai kapan kamu seperti ini? Nulis itu jiwa kamu. Nulis itu mimpi kamu. Jangan hanya karena Dia kamu jadi begini. Dia sudah berhasil hancurin hidupmu. Dan itu sudah cukup. Jangan lagi biarkan Dia merenggut mimpimu.” Suara Dina meninggi.
Maaf Din, aku lagi ngk pengen bahas ini, udah ya..” ujarku dengan senyum yang paling manis.
Aku berusaha untuk menenangkan Dina yang saat itu siap menerkamku. Aku sengaja mengakhiri percakapan ini. Bukan aku tidak suka. Semua yang dikatakan sahabatku benar, tak ada satupun yang meleset. Aku hanya berusaha berpaling dari kenyataan. Kenyataan bahwa hidup dan mimpiku telah hancur karena seseorang yang dulu pernah menjadi penyemangatku. Dan satu lagi kenyataan yang paling aku hindari, aku tak bisa menghapus Dia dari hidupku.
Astagfirullah, udah jam segini. Yuk berangkat, anak-anak kita sudah lama menunggu” Lanjutku dengan wajah cemas yang berhasil membuat Dina terbangun dari kesalnya.

***Bersambung***

Komentar