Entahlah,
sore ini seperti ada kekuatan besar yang mendorongku untuk menulis. Sudah
sekian lama semenjak kepergiannya, sangat lama, hatiku lumpuh untuk menulis. “Kamu
pasti jadi penulis hebat Nda”.. “Nda, aku jatuh cinta dengan tulisanmu.
Teruslah menulis.. Untuk aku”. Ahhhhh.. Kalimat itu selalu terngiang.. Aku
benci ketika mengingatnya. Kalimat yang dulu pernah menjadi penyemangatku,
sekarang berubah menjadi hal yang menyakitkan untuk diingat. Kalimat yang
berhasil membuatku berhenti mengoreskan penaku. Tapi berbeda dengan sore ini,
aku mendapati diriku begitu bersemangat untuk menulis. Virus kalimat itu seakan
tak berefek lagi padaku bahkan hilang dengan mudahnya. Aku yakin semua ini
beralasan. Dan aku tahu alasannya, “Dia”..
***
“Panda......”
Teriak dina dengan suara nyaring khasnya..
Aku
benci Dina saat memanggilku dengan panggilan itu. Hanya rasa benci sesaat. Aku
tau dia hanya menggodaku, dia hanya berusaha membuatku terbiasa dengan luka
lamaku. Walaupun begitu, sahabatku ini memang menyebalkan. Sahabat menyebalkan
yang berhasil membawa pelangi dalam hidupku. Dan aku sangat menyayanginya.
“Ihh,
apaan sih na. Cewek kok teriak-teriak. Malu tuh diliatin orang” Ujarku kesal.
“Duh
si eneng, pagi pagi udah cembetut aja. Padahal aku bawa kabar gembira loh buat
kamu” Goda Dina..
“Kabar
gembira?? Apa?” tanyaku penasaran.
“Ini..”
ujar Dina dengan senyum merekah sambil menunjukan pamflet berisi informasi
lomba cerpen yang diadakan oleh salah satu penerbit ternama di kotaku.
“Oo..”
jawabku datar.
“Ya
ampun Naila. Ini kesempatan bagus buat kamu sayang. Sampai kapan kamu terus
melewati kesempatan emas ini??” imbas Dina heran.
“Duh
dina, aku udah bilang ke kamu berkali-kali, aku ngk mau nulis lagi. Lebih
tepatnya aku nggak bisa nulis lagi.” Ketusku.
“Kenapa??
Karena Dia? Nai, mau sampai kapan kamu seperti ini? Nulis itu jiwa kamu. Nulis
itu mimpi kamu. Jangan hanya karena Dia kamu jadi begini. Dia sudah berhasil
hancurin hidupmu. Dan itu sudah cukup. Jangan lagi biarkan Dia merenggut
mimpimu.” Suara Dina meninggi.
“Maaf
Din, aku lagi ngk pengen bahas ini, udah ya..” ujarku dengan senyum yang
paling manis.
Aku
berusaha untuk menenangkan Dina yang saat itu siap menerkamku. Aku sengaja
mengakhiri percakapan ini. Bukan aku tidak suka. Semua yang dikatakan sahabatku
benar, tak ada satupun yang meleset. Aku hanya berusaha berpaling dari
kenyataan. Kenyataan bahwa hidup dan mimpiku telah hancur karena seseorang yang
dulu pernah menjadi penyemangatku. Dan satu lagi kenyataan yang paling aku
hindari, aku tak bisa menghapus Dia dari hidupku.
“Astagfirullah,
udah jam segini. Yuk berangkat, anak-anak kita sudah lama menunggu” Lanjutku
dengan wajah cemas yang berhasil membuat Dina terbangun dari kesalnya.
***Bersambung***
Komentar
Posting Komentar